Menakar Daya Ubah Desa Berdaya di NTB

Mataram, 25/10 (ANTARA) - Di sebuah sudut Lombok Timur, seorang ibu muda sibuk menata piring-piring dagangannya di teras rumah. Setiap hari ia menjual kue basah, hasil dari keahlian yang ia peroleh melalui pelatihan sederhana di balai desa beberapa waktu lalu.
Dengan senyum tipis, ia berkata lirih sambil menyalakan tungku bahwa kini dirinya tak lagi harus menunggu kiriman uang dari sang suami yang bekerja di Malaysia.
Kisah sederhana itu menjadi potret nyata dari cita-cita besar untuk menghadirkan kehidupan yang lebih mandiri dan sejahtera melalui program Desa Berdaya yang digulirkan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Pemprov NTB di bawah kepemimpinan Gubernur Lalu Muhammad Iqbal sedang menyiapkan langkah strategis yang tak hanya menyalurkan bantuan, tetapi membangun daya tahan ekonomi dari dalam.
Program Desa Berdaya menyasar 7.225 kepala keluarga miskin pada tahap pertama 2026, dengan ambisi menurunkan kemiskinan ekstrem menjadi nol persen pada 2029.
Langkah ini penting. NTB masih mencatat tingkat kemiskinan 11,91 persen atau sekitar 658 ribu orang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) September 2024.
Dari jumlah itu, 2,04 persen termasuk dalam kategori miskin ekstrem, yakni mereka yang hidup dengan penghasilan di bawah Rp10.739 per hari. Di sinilah program Desa Berdaya diharapkan hadir bukan sebagai proyek instan, melainkan sebagai jembatan menuju kemandirian.
Dari bantuan ke kemandirian
Program Desa Berdaya berangkat dari suatu kesadaran bahwa kemiskinan tidak hanya soal kekurangan uang, tetapi keterbatasan akses, kapasitas, dan kesempatan. Karena itu, program ini dirancang dengan dua pendekatan, yakni Desa Berdaya Tematik dan Desa Berdaya Transformatif.
Desa tematik diarahkan pada seluruh 1.166 desa dan kelurahan di NTB, untuk mengembangkan potensi lokal seperti pariwisata, pertanian, dan pengelolaan sampah.
Sementara desa transformatif difokuskan bagi 106 desa dengan penduduk miskin ekstrem. Skema ini bukan semata bantuan, tetapi melibatkan pendampingan intensif, verifikasi data berbasis Regsosek dan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), hingga pemberdayaan ekonomi keluarga.
Setiap desa mendapat alokasi dana antara Rp300 juta hingga Rp500 juta, bahkan Rp7 juta per kepala keluarga untuk intervensi intensif.
Namun uang bukan segalanya. Program ini mengandalkan kehadiran 144 pendamping desa yang merupakan warga lokal dan memahami karakter sosial serta ekonomi wilayahnya. Sosok-sosok inilah yang menjadi jembatan hidup antara kebijakan dan kenyataan, menghubungkan angka-angka statistik dengan wajah-wajah nyata yang berjuang di lapangan.
Pendekatan ini disebut model graduasi, yakni proses keluarga miskin yang “lulus” dari ketergantungan terhadap bantuan menuju kemandirian ekonomi. Pendamping bertugas membimbing 50 keluarga melalui empat pilar, yakni perlindungan sosial, pengembangan mata pencaharian, pemberdayaan sosial, dan inklusi keuangan.
Bila dijalankan konsisten, model ini bisa menjadi koreksi terhadap pola lama yang kerap berhenti di seremonial penyaluran bantuan. Sebab sesungguhnya, yang paling dibutuhkan masyarakat bukan “bantuan yang datang”, melainkan ruang untuk tumbuh.
Dilema pemberdayaan
Namun, tantangan yang dihadapi tak sederhana. Banyak program pengentasan kemiskinan di masa lalu gagal karena lemah di sisi implementasi dan koordinasi.
Desa Berdaya perlu memastikan tiga hal utama agar tidak mengulang pola lama, yakni data yang presisi, pendampingan yang berkelanjutan, dan kolaborasi lintas sektor.
Selama ini, persoalan mendasar sering muncul dari ketidaksinkronan data antara pusat, provinsi, dan desa. Akibatnya, penerima bantuan kerap tumpang tindih atau justru tidak menyentuh kelompok paling rentan.
Dengan verifikasi berbasis DTSEN, NTB mencoba menambal celah itu dengan menghadirkan satu basis data sosial ekonomi terpadu yang menjadi landasan dalam perumusan kebijakan.
Tantangan kedua adalah keberlanjutan pendampingan. Banyak pendamping desa di masa lalu berhenti di tengah jalan karena honor kecil atau tidak jelasnya mekanisme evaluasi.
Dalam konteks Desa Berdaya, pendamping bukan sekadar petugas administratif, melainkan katalis sosial. Mereka perlu dilatih dengan kompetensi sosial, ekonomi, dan digital agar mampu menggerakkan perubahan di tingkat komunitas.
Yang tak kalah penting adalah orkestrasi lintas sektor. Pemerintah provinsi berperan sebagai dirigen yang menyinergikan sumber daya dari berbagai pihak mulai kabupaten/kota, perguruan tinggi, lembaga filantropi, hingga sektor swasta.
Pendekatan collaborative action inilah yang membedakan Desa Berdaya dari program sejenis. Sebab, kemiskinan ekstrem tak bisa diselesaikan oleh satu lembaga, tetapi harus diurai bersama.
Potensi lokal menjadi kunci. Di Lombok Timur, misalnya, desa bisa dikembangkan melalui pertanian hortikultura dan wisata alam. Di Bima, penguatan sektor peternakan dan perikanan menjadi prioritas. Sedangkan di Lombok Barat, fokusnya bisa pada pengelolaan sampah dan energi terbarukan.
Program Desa Berdaya memberi ruang bagi setiap desa menentukan keunggulannya sendiri, bukan sekadar mengikuti template kebijakan dari atas.
Menenun harapan
Upaya mengentaskan kemiskinan ekstrem bukan hanya soal menurunkan angka, tetapi mengembalikan martabat. Desa Berdaya mengajarkan bahwa kemandirian tidak datang dari program besar, melainkan dari keberanian masyarakat mengelola hidupnya sendiri.
Dalam jangka panjang, desa-desa yang masuk dalam program ini berpeluang menjadi “laboratorium sosial” bagi pembangunan nasional, yaitu tempat lahirnya berbagai inovasi berbasis komunitas. Dari posyandu yang menumbuhkan wirausaha pangan sehat, koperasi perempuan yang mengelola bank sampah, hingga karang taruna yang memanfaatkan energi surya untuk menerangi dusun.
Namun, untuk mencapai itu semua, perlu keberanian menjaga konsistensi. Jangan sampai Desa Berdaya hanya menjadi jargon baru tanpa jejak nyata di lapangan.
Pemerintah daerah harus memastikan akuntabilitas, memperkuat kapasitas desa, dan menumbuhkan semangat gotong royong yang menjadi DNA masyarakat NTB.
Jika arah ini dijaga, maka program Desa Berdaya bukan sekadar “proyek kemiskinan”, tetapi gerakan sosial yang menumbuhkan daya hidup masyarakat.
Sebab kemiskinan ekstrem tidak akan hilang hanya karena bantuan tiba tepat waktu, tetapi karena warga desa mulai percaya bahwa mereka sanggup mengubah hidupnya sendiri. Di situlah arti sejati dari kata “berdaya”. (ANTARA/Abdul Hakim)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul Menakar Daya Ubah Desa Berdaya di NTB
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.













