Penghormatan terhadap Beras Lokal dari Petani

Jakarta, 04/7 (ANTARA) - Cadangan beras Pemerintah yang diakui saat ini mencapai 4 juta ton. Sebagian besar cadangan beras tersebut diisi oleh hasil produksi petani di dalam negeri.
Sekitar 2,1 juta ton cadangan beras diperoleh dari serapan Perum Bulog saat panen raya berlangsung. Sisanya, sekitar 1,8 juta ton, merupakan cadangan yang diperoleh dari hasil impor.
Dengan membaca pengalaman proses penyerapan gabah oleh Perum Bulog, yang menerapkan kebijakan pembelian gabah secara "any quality", dapat dipastikan kualitas gabah yang diserap tidak akan memberikan kualitas yang terbaik.
Itu sebabnya, penghormatan terhadap gabah yang dihasilkan petani menjadi hal penting untuk dilakukan.
Di sisi lain, sekalipun ada pihak yang ingin menghapus predikat beras sebagai "komoditas politis", kemudian ingin menggantinya menjadi "komoditas ekonomi", namun jika dicermati fakta kehidupan, keinginan tersebut rupanya masih cukup sulit untuk diwujudkan.
Beras masih menjadi kebutuhan pangan pokok sebagian besar warga bangsa, dan beras pun masih jadi penentu angka inflasi.
Semua pihak juga menyadari bahwa beras merupakan komoditas yang penuh dengan misteri. Suatu saat, bangsa ini mampu memproklamirkan diri sebagai bangsa yang telah mampu meraih swasembada beras.
Namun suatu waktu, semua terpaksa melakukan impor dengan jumlah yang sangat fantastis. Dari sinilah muncul pemikiran, swasembada beras yang dicapai mestinya swasembada beras berkelanjutan, bukan on trend.
Pengalaman pada 2023/2024, terkait dengan turunnya produksi beras dengan angka cukup signifikan, mengajak semua pihak untuk merenungi tentang apa yang bakal terjadi bila beras dijadikan komoditas ekonomi biasa?
Itu sebabnya, vonis beras sebagai komoditas politis masih harus disematkan, dan jangan coba-coba bermain-main dengan beras.
Sebaiknya bangsa ini senantiasa tetap mengingat pesan Proklamator Bangsa, Bung Karno, pada sekitar 73 tahun lalu bahwa urusan pangan menyangkut mati dan hidupnya suatu bangsa.
Sebagai bangsa yang telah terbiasa mengonsumsi beras, maka siapa pun yang diberi mandat oleh rakyat untuk menakhodai bangsa dan negara ini, jangan sekalipun tidak serius dalam mengelola beras.
Artinya, seberat apa pun kondisi perekonomian bangsa yang tengah dihadapi, yang terkait dengan urusan ketersediaan beras tetap harus menjadi prioritas utama agar beras tetap terjaga dan terkendali dengan baik.
Beras mesti selalu ada dan tidak boleh kurang dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Selain itu, harga beras di pasar tetap harus terjangkau oleh sebagian besar masyarakat.
Anjloknya produksi beras mestinya tidak boleh terjadi, sekiranya Pemerintah telah sungguh-sungguh menerapkan pendekatan “deteksi dini” dalam mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam dunia perberasan di negeri ini.
Ketersediaan berkelanjutan
Dalam kaitan ini, utamanya saat tibanya panen raya padi yang dimulai pada Februari 2025, penting dipertanyakan, bagaimana kesiapan Pemerintah untuk membuat ketersediaan tetap berkelanjutan?
Pengalaman buruk di masa lalu yakni panen raya di musim hujan, yang membuat petani kesusahan diharapkan sudah ada jalan keluar terbaiknya.
Pada saat itulah bangsa ini memimpikan hadirnya Bulog sebagai lembaga pangan yang akan turun ke sawah untuk membeli gabah dan beras petani dengan harga wajar dan tidak merugikan petani.
Bulog sebagai offtaker plat merah, sesuai dengan status barunya selaku lembaga otonom Pemerintah, akan all out menjalankan kiprahnya selaku pelindung petani.
Dengan berbagai keterbatasan yang ada, terlebih bila panen berlangsung saat musim hujan, kualitas gabah yang dihasilkan petani kemudian dibeli oleh Bulog, pasti berasnya tidak akan sebagus penampakan beras impor.
Kalau beras impor broken-nya rata-rata 5 persen, boleh jadi beras dalam negeri akan lebih dari 5 persen. Namun begitu, beras dalam negeri banyak dianggap lebih pulen dan lebuh disukai ketimbang beras impor.
Disodorkan pada kondisi demikian, ke depan perlu ada gerakan perbaikan kualitas beras produksi dalam negeri, khususnya dalam soal penampakan.
Di sinilah dibutuhkan adanya sinergi dan kolaborasi antara Kementerian Pertanian dan Bulog untuk sama-sama melakukan pembinaan terhadap petani. Selain itu, pelibatan organisasi petani seperti HKTI dan KTNA mutlak untuk dilibatkan.
Penerapannya di lapangan, upaya perbaikan kualitas beras dalam negeri sebaiknya dikemas dalam bentuk gerakan dengan melepaskan diri dari pendekatan proyek.
Hanya patut dicatat, sekalipun sudah dapat diprediksi kualitas beras yang diproduksi petani dalam negeri tidak akan lebih baik dibandingkan penampakan beras impor, namun dari sisi rasa dan kandungan gizi, beras dalam negeri jauh lebih unggul. Rasanya pulen dan bergizi.
Itu sebabnya, menjadi sangat masuk akal bila bangsa ini harus memberi apresiasi terhadap petani dalam negeri yang telah berjuang keras menggenjot produksi padi setinggi-tingginya.
Penghormatan ini layak disampaikan, mengingat para petani padi-lah yang telah bekerja keras selama kurang lebih 100 hari berkubang lumpur turun ke sawah.
Bayangkan, jika tidak ada mereka. Siapa yang akan memberi makan masyarakat kota? Lalu, dari mana lagi bangsa ini akan memperoleh beras untuk konsumsi dan menyambung kehidupan?
Bagi petani, panen raya merupakan peluang untuk dapat berubah nasib dan kehidupan. Petani optimistis, jika produksi meningkat cukup signifikan, maka penghasilannya akan naik, sehingga kesejahteraan hidupnya semakin membaik.
Sayang, harapan ini kerap terkendala untuk bisa terwujud, mengingat setiap panen raya harga gabah di petani malah anjlok. Akibatnya, nasib petani susah untuk berubah.
Akan tetapi, dengan adanya jaminan Pemerintah yang bakal menugaskan Bulog untuk menyerap dan membeli gabah/beras petani sebanyak-banyaknya dengan harga wajar dan tidak merugikan petani, maka harapan tersebut mulai mendekati kenyataan.
Perum Bulog dituntut untuk dapat mewujudkannya, sekalipun bukan hal mudah untuk diraih.
*) Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat.
Oleh Entang Sastraatmadja*)