Dua Pulau, Satu Visi Hijau

Mataram, 24/10 (ANTARA) - Saat matahari terbenam di pesisir barat Pulau Lombok, cahaya jingga menyapu riak laut, memantulkan bayangan masa depan yang masih terbentang. Di ujung selatan Pulau Sumbawa, angin membawa debu kering dari padang savana dan laut yang tenang, menampilkan dua wajah yang berlawanan tapi saling melengkapi.
Dua wajah itu adalah potret Nusa Tenggara Barat (NTB) yang kini berdiri di persimpangan penting, sebuah titik penentu yang menguji arah pembangunan. Di hadapannya terbentang dua pilihan yang sama menantang.
Satu sisi menggoda untuk terus berlari mengejar angka pertumbuhan ekonomi jangka pendek, sementara sisi lainnya mengajak untuk mulai menapaki jalur pembangunan yang berkelanjutan, adil, dan berpijak pada kekayaan lokalnya.
Dari ruang diskusi para akademisi di Bima-Dompu, muncul gagasan baru, yakni menjadikan Lombok sebagai “Eco City and Resilient Island” dan Sumbawa sebagai “Sustainable Economic Zone”. Sebuah ide yang bisa menjadi tonggak baru pembangunan NTB jika benar-benar diterjemahkan ke dalam kebijakan yang cermat dan membumi.
NTB selama ini dikenal sebagai salah satu wilayah di Indonesia Timur dengan potensi ekonomi yang terus tumbuh. Lombok telah menancapkan diri sebagai destinasi pariwisata internasional, sementara Sumbawa dikenal dengan kekayaan sumber daya alam dan sektor pertaniannya.
Namun di balik geliat itu, muncul tantangan klasik, yakni kerusakan lingkungan, ketimpangan antarwilayah, serta lemahnya infrastruktur dasar di beberapa kabupaten.
Dalam konteks inilah, gagasan diferensiasi pembangunan menjadi relevan. Lombok memiliki modal kuat berupa infrastruktur pariwisata kelas dunia, jaringan energi terbarukan yang mulai berkembang, serta posisi strategis sebagai simpul konektivitas NTB.
Sedangkan Sumbawa memiliki karakter agraris dan maritim yang kuat, dengan potensi industri pengolahan hasil bumi dan pariwisata alam yang belum tergarap maksimal.
Maka, kebijakan “satu pola untuk semua” justru bisa kontraproduktif. Pembangunan yang seragam hanya akan memperlebar kesenjangan dan membuat satu wilayah maju terlalu cepat, sementara wilayah lain tertinggal jauh di belakang.
Kebijakan
Bagi Lombok, konsep Eco City bukan sekadar jargon hijau. Ia bisa diwujudkan melalui tata kota yang ramah lingkungan, transportasi publik rendah emisi, pemanfaatan energi matahari dan angin, serta pengelolaan sampah berbasis sirkular ekonomi.
Pariwisata yang menjadi andalan pun perlu dikembangkan dengan prinsip “low impact tourism”, yang mengutamakan keseimbangan antara daya tarik wisata dan daya dukung alam.
Sementara di Sumbawa, arah Sustainable Zone berarti memaksimalkan potensi ekonomi lokal tanpa mengorbankan lingkungan. Ini bisa berupa industrialisasi ringan berbasis hasil pertanian dan perikanan, pemanfaatan teknologi agritech, serta pengembangan wisata alternatif seperti ekowisata, wisata budaya, atau wisata petualangan.
Data menunjukkan bahwa wilayah timur NTB, terutama Bima dan Dompu, masih menghadapi masalah serius dalam hal sanitasi, akses air bersih, dan konektivitas digital.
Oleh karena itu, kebijakan untuk Sumbawa seharusnya menitikberatkan pada penguatan infrastruktur dasar, peningkatan kualitas sumber daya manusia, serta pengembangan ekonomi berbasis komunitas.
Dengan pembagian fokus seperti ini, pembangunan di NTB bisa lebih adaptif terhadap kondisi wilayahnya. Lombok menjadi etalase ekonomi hijau, sementara Sumbawa menjadi laboratorium ekonomi berkelanjutan berbasis sumber daya alam dan masyarakat lokal.
Tantangan
Meski konsepnya menarik, pelaksanaan di lapangan tidak mudah. Tantangan utama adalah mindset pembangunan yang masih terjebak pada proyek fisik dan belanja infrastruktur, bukan pada investasi pengetahuan dan partisipasi masyarakat.
Di Lombok, laju investasi pariwisata yang tinggi membawa risiko lain seperti over-tourism, tekanan terhadap lahan pesisir, dan meningkatnya harga properti yang membuat warga lokal terpinggirkan. Di Sumbawa, risiko berbeda muncul berupa rendahnya nilai tambah hasil produksi, terbatasnya akses digital, dan migrasi tenaga kerja muda ke luar daerah.
Namun di balik tantangan itu, terdapat peluang besar. Lombok memiliki semua syarat untuk menjadi laboratorium kota hijau Indonesia. Pulau ini bisa memimpin transisi ke energi bersih, menerapkan sistem transportasi ramah lingkungan, dan menjadi model integrasi antara pariwisata, konservasi, serta kesejahteraan warga.
Sementara Sumbawa berpotensi menjadi pusat zona ekonomi berkelanjutan. Lahan yang luas, potensi laut yang besar, serta karakter sosial yang masih kuat dalam gotong royong menjadi modal utama.
Dengan pengelolaan yang tepat, Sumbawa bisa menjadi produsen pangan, ikan, dan komoditas hijau yang menopang ekonomi Lombok sekaligus memperkuat kemandirian regional.
Kuncinya adalah sinergi. Lombok dan Sumbawa bukan pesaing, melainkan dua wajah berbeda dari satu tubuh yang sama. Lombok bisa menjadi etalase dan pintu masuk, sedangkan Sumbawa adalah ruang produksi dan ketahanan ekonomi.
Strategi
Untuk menerjemahkan konsep Eco City dan Sustainable Zone ke dalam tindakan nyata, dibutuhkan strategi yang tidak hanya tertulis di atas kertas, tetapi benar-benar hidup dalam kebijakan dan praktik di lapangan.
Langkah pertama adalah menetapkan arah yang jelas melalui pembagian zona pembangunan. Lombok dapat diarahkan menjadi kawasan Eco City & Resilient Island --sebuah pulau tangguh yang menyeimbangkan antara kemajuan pariwisata dan kelestarian lingkungan.
Sementara itu, Sumbawa bisa difokuskan sebagai Sustainable Economic Zone, wilayah ekonomi berkelanjutan yang tumbuh dari potensi agrikultur, perikanan, dan sumber daya lokalnya sendiri.
Kebijakan yang matang tidak akan lahir tanpa data dan pengetahuan yang kuat. Karena itu, riset dan pemetaan lokal perlu menjadi fondasi. Pemerintah daerah seharusnya menggandeng universitas serta lembaga riset untuk menelusuri daya dukung lingkungan, sosial, dan ekonomi di tiap kawasan, sehingga setiap keputusan berdiri di atas bukti, bukan sekadar asumsi.
Namun, pembangunan berkelanjutan bukan hanya urusan teknokrat dan pejabat. Partisipasi masyarakat harus menjadi jantung dari setiap kebijakan. Warga lokal, komunitas desa, hingga pelaku pariwisata perlu dilibatkan sejak tahap perencanaan agar arah pembangunan sejalan dengan kebutuhan nyata dan tidak berhenti di ruang rapat atau dokumen proyek semata.
Pendanaan pun mesti mengikuti semangat hijau dan inovatif. Skema seperti green bonds, dana desa hijau, atau kemitraan antara pemerintah dan sektor swasta berbasis dampak sosial-lingkungan dapat membuka ruang baru pembiayaan yang lebih berkeadilan dan berjangka panjang.
Setiap program harus memiliki ukuran keberhasilan yang jelas. Indikator terukur seperti penurunan emisi karbon, peningkatan akses air bersih, pertumbuhan ekonomi digital, dan berkurangnya ketimpangan antarwilayah menjadi tolok ukur penting yang memastikan arah pembangunan tidak melenceng dari semangat keberlanjutan.
Lebih dari itu, kerja sama lintas wilayah dan lintas pulau menjadi kunci. Lombok dan Sumbawa tidak boleh berjalan sendiri-sendiri, melainkan saling memperkuat peran satu sama lain. Lombok sebagai wajah pariwisata hijau, dan Sumbawa sebagai lumbung ekonomi berkelanjutan yang menopang keseimbangan regional.
Semua strategi ini hanya akan berhasil jika ada kemauan politik yang kuat dan tata kelola yang transparan. Pemerintah provinsi harus mengambil peran sebagai pengarah utama, sementara kabupaten dan kota menjadi motor pelaksana di lapangan dengan dukungan penuh masyarakat, akademisi, dan pelaku usaha.
Hanya dengan sinergi semacam ini, konsep Eco City dan Sustainable Zone dapat berubah dari gagasan menjadi gerakan nyata menuju masa depan yang lestari.
Lestari
Pembangunan berkelanjutan bukan sekadar urusan teknologi hijau atau sertifikasi lingkungan. Ia adalah cara berpikir baru bahwa pertumbuhan ekonomi harus berjalan bersama keadilan sosial dan keseimbangan ekologi.
NTB memiliki semua bahan untuk mewujudkan itu, yakni sumber daya alam yang melimpah, budaya masyarakat yang adaptif, dan posisi geografis yang strategis di jantung Indonesia bagian tengah. Namun keberhasilan hanya akan datang bila setiap langkah diambil dengan perencanaan yang terukur dan keberpihakan yang jelas pada masyarakat.
Eco City di Lombok bukan sekadar slogan, dan Sustainable Zone di Sumbawa bukan sekadar label. Keduanya adalah arah baru bagi NTB untuk membangun tanpa merusak, bertumbuh tanpa meninggalkan, dan maju tanpa kehilangan jati diri.
Jika Lombok dan Sumbawa diberi ruang untuk berkembang sesuai karakternya, NTB bisa menjadi contoh bagaimana provinsi kepulauan mampu membangun secara cerdas, hijau, dan inklusif.
Pada akhirnya, masa depan NTB akan ditentukan oleh keberanian untuk beranjak dari pola lama menuju strategi baru, yakni pembangunan yang tak hanya indah di mata wisatawan, tetapi juga kokoh di atas fondasi keadilan dan keberlanjutan. (ANTARA/Abdul Hakim)
Berita ini telah tayang di Antaranews.com dengan judul Dua Pulau, Satu Visi Hijau
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.













