JMDN logo

Dieng Pilih Budaya Bukan Gemerlap Panggung

📍 Budaya
29 Juli 2025
5 views
Dieng Pilih Budaya Bukan Gemerlap Panggung

Banjarnegara, 29/7 (ANTARA) - Embun pagi masih menggantung di rerumputan Dataran Tinggi Dieng, Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, ketika penggiat pariwisata setempat sibuk menyiapkan gelaran tahunan yang telah menjadi ikon pariwisata di sana: Dieng Culture Festival (DCF).


Ada yang berbeda dalam gelaran DCF XV Tahun 2025 karena untuk pertama kalinya sejak dihadirkan pada 2103, Jazz Atas Awan –pentas musik ikonik yang selama ini menjadi magnet utama wisatawan– tidak lagi menjadi bagian dari festival itu.


Keputusan itu bukan tanpa pertimbangan. Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Dieng Pandawa, Desa Dieng Kulon, Kecamatan Batur, Banjarnegara, Alif Faozi menyebut langkah ini sebagai bagian dari upaya mereka "kembali ke akar".


"Kami ingin mengembalikan roh DCF sebagai ajang budaya, bukan sekadar festival musik. Jazz Atas Awan sudah besar dan layak menjadi agenda tersendiri," ujarnya.


Pemisahan Jazz Atas Awan menjadi isu krusial di kalangan pelaku pariwisata dan budaya. Dalam beberapa tahun terakhir, kemeriahan panggung jaz kerap menutupi agenda inti DCF, yaitu ritual ruwatan anak berambut gimbal, tradisi sakral masyarakat Dieng yang penuh makna spiritual.


Kenyataan bahwa pengunjung lebih tertarik pada nama artis daripada jumlah anak gimbal yang diruwat menjadi cermin pergeseran fokus. Hal itu dikhawatirkan oleh Pokdarwis Dieng Pandawa selaku panitia DCF.


Jazz Atas Awan yang semula lahir sebagai hiburan pendukung, tumbuh menjadi ajang musik berskala nasional. Namun, dalam pertumbuhannya yang pesat, kerisauan muncul – akankah budaya tertelan gegap gempita modernitas?


DCF XV Tahun 2025 yang mengusung tema Back to Culture akan berlangsung 23-24 Agustus 2025 di Kompleks Candi Arjuna. Acara itu hanya selama dua hari atau lebih ringkas dari tahun-tahun sebelumnya yang digelar selama tiga hari.


Sebagai pengganti Jazz Atas Awan, Pokdarwis Dieng Pandawa bakal menghadirkan Simponi Dieng, sebuah orkestra lokal yang memadukan unsur musik kontemporer dan etnik, namun tetap bernapas lokal.


Alif mengatakan Simponi Dieng tetap menghadirkan musisi nasional, namun aransemen dan nuansanya diminta untuk tidak keluar dari jiwa Dieng. “Jazz Atas Awan kami ganti, bukan kami hapuskan semangatnya,” kata dia menegaskan.


Ritual inti berupa ruwatan anak berambut gimbal, kirab budaya, dan doa bersama tetap menjadi jantung acara. Malam harinya ditutup dengan penerbangan lampion, menghadirkan suasana magis khas pegunungan. Keseluruhan rangkaian dirancang untuk menguatkan pengalaman spiritual dan budaya bagi pengunjung, bukan sekadar tontonan.


Lebih dari sekadar perombakan, DCF XV adalah bentuk kritik internal terhadap komersialisasi budaya. Bahkan, panitia secara sadar tidak mengikutsertakan DCF 2025 dalam Karisma Event Nusantara (KEN) – sebuah program nasional yang biasanya menjadi tolok ukur prestise festival daerah.


“Kami ingin tahun ini lebih santai, tidak dibebani ekspektasi terlalu tinggi. Kami sedang mengukur: seberapa besar minat publik terhadap DCF tanpa Jazz Atas Awan?” ungkap Alif.


Langkah ini, meski berisiko menurunkan jumlah wisatawan, dinilai penting untuk menjaga identitas dan karakter DCF.


DCF XV Tahun 2025 juga memperkenalkan konsep baru: wisatawan berpakaian adat.


Sebanyak 200 peserta dari berbagai daerah akan diajak untuk mengenakan busana tradisional lengkap, bahkan jika memungkinkan dilengkapi pusaka masing-masing, sehingga akan menjadi satu kolaborasi budaya Dieng dan Nusantara. Mereka tidak hanya menonton kirab budaya, tapi turut menjadi bagian di dalamnya. Itu sebagai sebuah upaya merajut interaksi lintas budaya di atas awan.


DCF XV juga disinergikan dengan Geothermal Festival dan Dieng Fun Walk bersama Tim KKN Universitas Gadjah Mada, yang diharapkan menambah nuansa edukatif dan partisipatif dalam festival, sekaligus memperluas jangkauan festival ke segmen wisata keluarga dan komunitas.


Meski dipisahkan, Jazz Atas Awan tidak dihapuskan. Agenda ini tetap akan digelar, namun di luar tanggal dan rangkaian DCF. Lokasi, waktu, dan konsep baru dari Jazz Atas Awan kini tengah dimatangkan agar tetap menjadi magnet tersendiri.


“Jazz Atas Awan tidak hilang, tapi diberi panggung sendiri. Agar DCF bisa bernapas budaya, dan jaz bisa tumbuh sebagai festival musik pegunungan yang mandiri,” kata Alif.


Bupati Banjarnegara Amalia Desiana menyatakan dukungan penuh atas langkah panitia. “DCF adalah jendela budaya Banjarnegara. Saya sangat mengapresiasi kreativitas panitia, dan saya pastikan, kalau tidak datang, akan menyesal,” katanya.


Menurut dia, DCF merupakan satu agenda kegiatan yang mampu menjadi bagian dari promosi pariwisata di Banjarnegara. Oleh karena itu, DCF menjadi ajang yang tepat, tidak hanya pariwisata, juga budaya dan tradisi yang harus tetap terjaga.


Bagi pemerintah daerah, DCF bukan sekadar agenda tahunan, tapi alat pemersatu antara pariwisata dan pelestarian budaya. Meskipun Jazz Atas Awan absen, DCF tetap dinilai mampu menggerakkan ekonomi lokal, menghidupkan homestay, UMKM, dan ekosistem wisata lain.


DCF kini berada di persimpangan: antara tradisi dan tren. Tapi langkah berani memisahkan diri dari ingar-bingar panggung modern menunjukkan bahwa Dieng tak sekadar menjual keindahan alam, melainkan juga identitas budaya yang tak lekang oleh waktu. (ANTARA/Sumarwoto)

📬 Berlangganan Newsletter

Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.

Berita Populer

Berita Populer