Napas Pesisir dalam Genggaman Akar Mangrove

Samarinda, 01/9 (ANTARA) - Suara mesin perahu klotok memecah hening perairan Desa Muara Badak Ulu, bagian dari Delta Mahakam, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur.
Di atas perahu itu, Syamsul, seorang petambak dari Kelompok Pembudidaya Ikan (Pokdakan) Salo Sumbala, membelah pagi menuju tambaknya.
Baginya, hamparan air payau yang dikelilingi rimbunnya hutan mangrove bukan sekadar lahan usaha, melainkan bukti dari sebuah pelajaran, bahwa alam tak bisa ditaklukkan, tapi harus dirangkul.
Syamsul masih ingat betul masa-masa ketika logika "bersih lebih baik" menjadi pegangan utama. Ia pun ikut membabat pohon-pohon bakau demi mengolah petak-petak tambak; Sebuah antitesis yang naif, mengingat tumbuhan itu sejatinya ialah penjaga ekologi kampung pesisir.
“Dulu di sini, semua ditebang. Bersih semua. Awalnya memang bagus hasilnya. Panen melimpah," kenang Syamsul seraya menunjuk area tambak.
Pada masa itu, para petambak beranggapan bahwa pohon bakau dan vegetasi mangrove lainnya ibarat rumput pengganggu yang harus dibersihkan agar udang dan ikan bisa tumbuh maksimal.
Lahan tambak yang lapang tanpa sebatang pohon pun menjadi pemandangan umum. Maka tak heran deforestasi tutupan lahan mangrove di Kalimantan Timur menempatkan tambak menjadi faktor terbesar (48,5 persen).
Jika ditilik, Kalimantan Timur kini memiliki luas mangrove 240 ribu hektare dengan potensi habitat yang bisa direstorasi sekitar 110 ribu hektare.
Aktivitas masa lalu petambak mendegradasi mangrove guna mengais rejeki ternyata tak sejalan dengan yang diharapkan.
“Setelah tujuh, bahkan hampir sepuluh tahun, hasilnya terus menurun, menurun, dan menurun,” tuturnya serius.
Kegagalan panen menjadi momok yang menghantui. Udang sering mati. Tak bertahan hidup bahkan kurang dari dua bulan.
Ekosistem tambak yang tadinya subur menjadi rapuh. Tanpa akar-akar bakau yang menahan sedimen dan menyediakan nutrisi alami, kualitas air memburuk.
Hama dan penyakit lebih mudah menyerang. Para petambak berada di titik terendah, menyaksikan sumber penghidupan mereka perlahan meredup.
Titik balik datang ketika konsep silvofishery atau wana mina mulai diperkenalkan kepada mereka. Sistem ini mengintegrasikan budidaya perikanan dengan penanaman mangrove di dalam atau di sekitar kawasan tambak.
Awalnya, ada keraguan. Lantaran didorong oleh keputusasaan dan bimbingan dari sekelompok pendamping, mereka pun mencoba.
Syamsul sendiri mulai menerapkan sistem ini sekitar tahun 2006. Ia dan anggota kelompok lainnya mulai menanam kembali bibit-bibit bakau di pematang dan di beberapa bagian tengah tambak mereka.
“Memang butuh waktu. Bakau yang ditanam di dalam tambak itu tumbuhnya lebih lama. Mungkin tiga tahun masih kecil,” jelasnya.
Mereka harus menunggu bertahun-tahun sebelum manfaatnya benar-benar bisa dirasakan.
Kini, setelah lebih dari satu dekade, pohon-pohon bakau itu telah tumbuh besar, membentuk benteng hijau yang kokoh. Hasilnya pun mulai terlihat nyata.
“Jauh lebih bagus sekarang kalau banyak bakaunya,” tegas Syamsul. “Pohon-pohon ini fungsinya seperti penyangga,” ujarnya lagi.
Akar-akar mangrove menjadi rumah bagi plankton dan biota kecil yang merupakan pakan alami bagi udang dan ikan bandeng. Daun-daunnya yang gugur terurai menjadi nutrisi organik yang menyuburkan air.
Lebih dari itu, rimbunnya mangrove menciptakan lingkungan yang stabil dan sehat, mengurangi stres pada komoditas budidaya dan menekan risiko serangan penyakit.
Di atas dua petak tambak miliknya, Syamsul kini membudidayakan komoditas campuran. Ada udang windu, kepiting, dan ikan bandeng. Sebuah praktik polikultur yang meniru keragaman alami ekosistem pesisir.
Setiap hari, ia menempuh perjalanan sekitar 15 menit dari rumahnya di pesisir Desa Muara Badak Ulu menuju lokasi tambak dengan perahu klotok. Sebuah rutinitas yang ia jalani dengan semangat baru, semangat yang lahir dari harmoni antara usahanya dan alam yang ia jaga.
Silvofishery adalah Solusi
Sebuah inovasi yang memadukan rehabilitasi mangrove dengan budidaya perikanan tak hanya memulihkan ekosistem pesisir yang terdegradasi, tetapi juga meningkatkan kesejahteraan para petambak.
Itulah silvofishery, sebuah konsep yang dikembangkan dan disebarluaskan oleh Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Mulawarman (Unmul), Profesor Esti Handayani Hardi.
Di hamparan pesisir Delta Mahakam, Kalimantan Timur, ribuan hektare tambak ikan dan udang menjadi saksi dilema puluhan tahun: antara kebutuhan ekonomi dan kelestarian ekologi.
Pembukaan hutan mangrove secara masif untuk tambak telah menyebabkan degradasi lingkungan yang serius. Tanah menjadi tidak subur, kualitas air menurun, dan yang paling dirasakan petambak, hasil panen terus merosot dari tahun ke tahun.
Pemerintah berupaya merehabilitasi kawasan mangrove, tapi kerap berhadapan dengan kekhawatiran para petambak.
Dari sinilah konsep silvofishery lahir sebagai jembatan. Silvofishery itu sebenarnya metode pengelolaan tambak yang mengintegrasikan program rehabilitasi mangrove dengan kegiatan akuakultur yang dilakukan oleh masyarakat.
Ini bukan sekadar menanam pohon di pematang tambak, melainkan menciptakan sebuah ekosistem simbiosis yang saling menguntungkan.
Salah satu kunci keberhasilan silvofishery yang dikembangkan Prof Esti adalah penerapan sistem polikultur, yakni beberapa komoditas dibudidayakan dalam satu tambak. Sistem ini menciptakan konsep yang ia sebut sebagai circular activity atau aktivitas melingkar.
"Misalnya kita campur antara bandeng sama udang. Nanti kotorannya udang bisa menumbuhkan alga dan lumut, yang kemudian dimakan oleh bandeng. Kotoran bandeng lalu menumbuhkan pakan alami seperti plankton dan bentos yang jadi makanan untuk udang. Begitu terus, muter," paparnya.
Siklus alami ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada pakan buatan, tetapi juga secara aktif memperbaiki kualitas air di dalam tambak.
Kehadiran mangrove di sekitar tambak berfungsi sebagai filter alami, penyedia oksigen, dan habitat bagi biota-biota kecil yang menjadi pakan alami.
Hasilnya terbukti signifikan. Para petambak yang tadinya hanya bisa panen udang atau bandeng setiap 5-6 bulan sekali, kini bisa mendapatkan hasil panen setiap bulan.
"Mereka bisa melakukan panen secara parsial. Tiap bulan bisa panen dari organisme-organisme lain seperti kepiting atau rumput laut," tambah Prof Esti.
Seorang petambak bahkan melaporkan lonjakan hasil yang luar biasa, dari hanya kurang dari 50 kilogram menjadi satu kuintal dalam satu siklus panen setelah menerapkan metode ini.
Inovasi berbasis alam
Seiring berjalannya waktu, Prof Esti terus mengembangkan inovasi untuk menyempurnakan praktik silvofishery.
Menghadapi tantangan seperti bibit udang yang rentan penyakit dan mudah stres, ia tidak beralih ke bahan kimia. Sebaliknya, ia kembali ke alam.
Guru besar termuda Unmul itu mengembangkan plant extract (ekstrak tumbuhan) yang bisa berperan sebagai prebiotik untuk meningkatkan jumlah pakan alami. Ia juga mengembangkan formula antibakterial dan imunostimulan dari herbal untuk meningkatkan daya tahan dan pertumbuhan udang.
Pendekatan organik ini sejalan dengan misi besar silvofishery, yakni menciptakan budidaya yang ramah lingkungan dan rendah emisi karbon, sesuai dengan program revitalisasi tambak ramah lingkungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Apa yang dimulai sebagai solusi untuk Delta Mahakam kini telah menjadi model percontohan nasional. Keberhasilan Prof Esti dalam mengembangkan silvofishery di Kalimantan Timur, membuat ia diundang ke berbagai daerah di Indonesia untuk berbagi ilmu.
"Saya membantu penerapan dan pengembangan di Aceh, Lombok, NTT, Surabaya, Kalimantan Tengah, hingga pantai utara Jawa," sebutnya.
Ia bekerja sama dengan berbagai lembaga non pemerintah (NGO) seperti CarbonEthics, Wahana Visi Indonesia, Kaleka, hingga perusahaan-perusahaan besar yang mulai beralih dari tambak intensif ke model silvofishery yang lebih berkelanjutan.
Demi edukasi ini tersebar luas dan mudah diterapkan, Prof Esti dan timnya juga mendirikan Sekolah Lapang bagi para petambak. Tujuannya adalah untuk terus memperbarui pengetahuan dan keterampilan mereka agar adaptif terhadap perubahan kondisi alam.
Ke depan, cakupan penelitian silvofishery semakin luas. Bulan September 2025, Unmul melakukan penelitian bersama Stirling University, British Council dari Inggris untuk membuktikan bahwa mangrove punya kemampuan menyerap bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
"Ini dampaknya tidak hanya pada ekologi, tapi juga kesehatan masyarakat," ucap Esti.
Dengan silvofishery, rimbunnya bakau bukan lagi gangguan, melainkan berkah yang bisa dipetik dalam jangka panjang untuk generasi-generasi mendatang. (ANTARA/Ahmad Rifandi)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.