Ketika Gates dan Bezos Jadi Petani

Jakarta, 09/7 (ANTARA) - Di tengah hiruk pikuk inovasi kecerdasan buatan dan penjelajahan ruang angkasa, terjadi sebuah pergeseran senyap, namun masif. Para titan teknologi yang mendefinisikan era digital, Bill Gates, Jeff Bezos, Mark Zuckerberg, dan Jack Ma, kini mengalihkan sebagian besar kekayaan mereka ke aset paling purba di dunia, yakni tanah pertanian.
Bill Gates kini adalah pemilik lahan pertanian terbesar di Amerika Serikat, dengan luas lebih dari 270 ribu hektare. Jeff Bezos tidak mau kalah, mengakuisisi lebih dari 420 ribu hektare lahan.
Langkah Gates dan tokoh lain ini bukan sekadar diversifikasi portofolio biasa. Ketika orang-orang dengan akses informasi paling canggih di dunia mulai menimbun aset yang menjadi sumber kehidupan, kita harus bertanya, Apa yang mereka ketahui dan tidak kita ketahui?
Jawabannya adalah sebuah sinyal seismik, sebuah alarm darurat yang gaung gerakan Gates, Bezos, dan kawan-kawan ini harus sampai ke setiap rumah di perkotaan, koridor kebijakan pemerintah, dan ruang rapat para pengusaha di Indonesia.
Mengendus krisis
Investasi Gates dan para miliarder dunia ini didasari oleh analisis multilapis yang tajam. Pertama, lahan pertanian adalah benteng pertahanan ekonomi. Data historis membuktikan bahwa lahan pertanian merupakan aset lindung nilai inflasi yang superior.
Di saat saham bisa anjlok dan mata uang tergerus, nilai tanah dan hasil panennya cenderung meningkat. Indeks Lahan Pertanian NCREIF di AS, misalnya, menunjukkan imbal hasil tahunan rata-rata sekitar 10,15 persen sejak 1992, dengan volatilitas yang jauh lebih rendah dibandingkan pasar saham. Ini adalah aset yang stabil, saat dunia bergejolak.
Kedua, dan yang paling krusial, adalah antisipasi terhadap kerapuhan rantai pasok global. Pandemi COVID-19 dan konflik geopolitik di berbagai belahan dunia telah membuka mata kita, betapa rapuhnya sistem distribusi pangan modern.
Perang di satu benua dapat menyebabkan kelangkaan pupuk dan kenaikan harga gandum di benua lain. Gates dan para miliarder ini tidak hanya berinvestasi. Mereka sedang membangun sekoci penyelamat, mengamankan kontrol langsung atas produksi pangan sebagai antisipasi jika "perang rantai pasok" benar-benar terjadi.
Panggilan bertindak
Langkah Gates dan para raksasa global ini harus diterjemahkan menjadi tiga agenda aksi mendesak bagi Indonesia.
Bagi Masyarakat, mulailah membangun lumbung pangan keluarga. Ketergantungan total pada pasar adalah sebuah kerentanan. Saatnya masyarakat, terutama di perkotaan, membangun kemandirian pangan skala mikro.
Bagi mereka yang hidup dengan lahan sempit, solusi ada di depan mata, pertanian vertikal (vertical farming). Mengubah dinding kosong di teras, balkon, atau bahkan dalam ruangan menjadi taman vertikal yang produktif, bukan lagi sekadar hobi, melainkan sebuah langkah strategis.
Menanam sayuran, seperti selada, kangkung, bayam, atau cabai secara vertikal tidak hanya memenuhi sebagian kebutuhan gizi harian, tetapi juga mendidik generasi muda tentang siklus pangan dan mengurangi jejak karbon keluarga. Ini adalah fondasi ketahanan pangan yang dimulai dari unit terkecil, keluarga.
Untuk pemerintah, percepat langkah menuju kedaulatan pangan. Pemerintah harus membaca ini sebagai sinyal kuat untuk bergerak lebih cepat dari sekadar retorika ketahanan pangan menuju implementasi nyata, kedaulatan pangan.
Ketahanan pangan mungkin menjamin ketersediaan, namun seringkali melalui impor yang membuat kita rentan. Kedaulatan pangan berarti negara memiliki kontrol dan kemampuan untuk memproduksi pangannya sendiri.
Ini menuntut kebijakan yang radikal dan berpihak, stop alih fungsi lahan pertanian produktif, berikan insentif besar bagi petani muda, bangun infrastruktur pascapanen yang modern, dan lindungi petani dari fluktuasi harga yang liar. Sinyal dari para miliarder ini jelas, di masa depan, negara yang berdaulat adalah negara yang mampu memberi makan rakyatnya sendiri, tanpa bergantung pada negara lain.
Sementara itu bagi pengusaha, merangkul inovasi dan kesejahteraan petani. Dunia usaha memiliki peran sentral untuk menjadi motor penggerak. Sudah saatnya paradigma bisnis berubah dari sekadar ekstraktif menjadi kolaboratif dan inovatif.
Para pengusaha perlu secara aktif merangkul para akademisi dan praktisi visioner di sektor pertanian dan peternakan, terutama mereka yang telah berhasil menerapkan sistem lingkar tertutup.
Model bisnis ini mengintegrasikan pertanian, perikanan, dan peternakan dalam satu siklus, tanpa limbah (zero waste), di mana output dari satu unit menjadi input bagi unit lainnya. Ini bukan hanya efisien dan ramah lingkungan, tetapi juga sangat menguntungkan.
Lebih dari itu, kolaborasi ini harus merangkul struktur sosial yang adil. Gagasan "Koperasi Desa Merah Putih" yang baru-baru ini diinisiasi oleh Presiden Prabowo Subianto, dan rencananya akan diluncurkan pada Hari Koperasi di bulan Juli ini, adalah momentum yang sempurna.
Model koperasi multipihak dapat diimplementasikan pada Koperasi Desa Merah Putih, sehingga dapat secara optimal untuk memotong rantai tengkulak, memberikan nilai tambah bagi petani, dan memastikan kesejahteraan mereka menjadi inti dari model bisnis.
Pengusaha yang mampu mengintegrasikan teknologi closed-loop dengan struktur Koperasi Merah Putih, tidak hanya akan membangun bisnis yang berkelanjutan, tetapi juga menjadi pahlawan bagi kedaulatan pangan nasional.
Pada akhirnya, ketika para miliarder membangun lumbung pangan pribadi mereka, kita tidak bisa hanya menjadi penonton. Ini adalah momen untuk introspeksi dan aksi kolektif.
Kedaulatan pangan bukan lagi sebuah pilihan, melainkan sebuah keharusan untuk bertahan dan berjaya di tengah ketidakpastian global. Mari kita mulai dari halaman rumah, ruang rapat, dan koridor kebijakan, sekarang juga.
*) Baratadewa Sakti P adalah praktisi keuangan keluarga & pendamping keuangan bisnis UMKM
Oleh Baratadewa Sakti Perdana *)
📬 Berlangganan Newsletter
Dapatkan berita terbaru seputar desa langsung ke email Anda.